Jumat, 01 Agustus 2014

Jiwa penindas Raga.


Saya masih hidup di alam dunia saat menulis ini, syarat mutlak untuk masih bisa dikatakan hidup adalah ketika Jiwa (Ruh) dan Raga (Tubuh) saya masih menyatu, mana yang lebih penting?, Jiwa atau Raga?, mana yang lebih berguna?, pertanyaan bodoh yang tidak perlu dijawab!  Meski ‘usia’ Jiwa jauh lebih panjang dibanding Raga, tentu saja tanpa salah satunya maka saya sudah tidak pantas lagi disebut hidup, hidup di alam dunia yang saya maksud. Jiwa dan Raga adalah hal yang tidak bisa dipisahkan, saling mendukung, saling menghargai dan menghormati, saling membutuhkan, dan tidak ada sepasang kekasih pun didunia ini yang mampu menandingi kemesraan mereka.

Benarkah...?! Jiwa adalah tempatnya ribuan atau bahkan jutaan  keinginan dan nafsu, seperti juga kemewahan, ia rakus dan tamak. Sedangkan Raga adalah dimana kebutuhan bersemayam, disudut Raga yang terpencil terdapat kesederhanaan, ia polos dan lugu. Ketika Jiwa ini  ingin merokok, Raga ini sama sekali tidak membutuhkan nikotin, tar, dan juga ribuan zat berbahaya nan merusak lainnya yang terdapat disana. Mereka bersitegang, Jiwa tidak mau mendengar alasan-alasan, yang terpenting keinginannya terpenuhi dan ketika akhirnya Raga  terpaksa tunduk kepada keinginan sang Jiwa untuk menghisap asap rokok, ia menangis, ia merasa ternoda, ia menyalahi fitrahnya dengan merusak dirinya sendiri. Ini terjadi, terjadi lagi dan terus terjadi, Raga memohon kepada Jiwa untuk berhenti meracuni dan merusaknya yang berarti juga demi kebaikan Jiwa itu sendiri, namun Jiwa tak peduli, tak pernah mau peduli. Raga tak kuasa menolak keinginan Jiwa, meski terluka, ia memperingatkan Jiwa dengan batuk, nafas yang semakin pendek, dada yang sesak, namun itu tetap tak mampu menimbulkan belas kasih sang Jiwa.

Sang Jiwa semakin menggila dan sang Raga semakin tak berdaya, Jiwa menginginkan Alkohol, zat adiktif, dan keinginan-keinginan yang sama sekali tidak dibutuhkan Raga lainnya. Jiwa menginginkan Raga yang terlihat rupawan dan menarik agar mengalir pujian-pujian yang memuaskan sang Jiwa, meski Raga hanya membutuhkan kesehatan bukan semata pujian. Jiwa memaksa Raga memuntahkan kembali makanan yang dibutuhkannya demi memiliki bentuk Raga ramping yang sempurna bak putri-putri dalam dongeng yang ditampilkan di layar-layar kaca penuh ilusi. Raga telah menjadi kerdil sedangkan Jiwa semakin seperti raksasa yang merasa berkuasa, untuk apa Jiwa tertawa sementara Raga menangis?

Bayangkan ketika Jiwa dan Raga sedang bermesraan, ketika keinginan merupakan sebuah kebutuhan, ketika Raga terlalu lelah beraktifitas Jiwa memberi senyum lembut mengantar hingga mencapai gelombang Delta, dan nampaknya Raga saya sudah memberi peringatan bahwa dia telah letih malam ini setelah aktifitas seharian ini dengan menguap berkali-kali. Baiklah, saatnya beristirahat. Eh, ternyata kalau dipikir-pikir, saya ini ternyata munafik juga ya, teriak-teriak merdeka, anti penindasan, anti kekerasan, tapi ternyata Jiwa saya masih menjadi penindas bagi Raga saya.